5 Nenek Bersaudara Hidup Dalam Keprihatinan

Oleh : Rio Dharmawan

Singkawang-Majalah Info Kalimantan

Sungguh memprihatinkan nasib yang dialami 5 Nenek bersaudara, yang beralamat di Jalan Trisula, Rt 05, Rw 10, Kelurahan Naram, Kecamatan Singkawang Utara, Kota Singkawang. Meski tinggal di Kota Betuah Gayung Bersambut (Julukan Singkawang), kehidupan ke lima Nenek ini jauh dari kecukupan.

Hidup dalam serba kekurangan dan keprihatinan sudah dilalui mereka berlima, selama puluhan tahun.

Kelima Nenek bersaudara ini, bernama Ng Nyiun Kiau (usia 85 tahun), Ng Fa Kiau (83 tahun), Ng Moi Kiau (80 tahun), Ng Chin Kiau (78 tahun), dan Ng Sin Kiau (75 tahun).

Dalam kehidupan sehari-hari, kelima Nenek bersaudara ini, tidak didampingi suami maupun anak. Mereka tinggal di 3 rumah yang berbeda, tetapi masih dalam satu kompleks berdekatan, dengan kondisi yang cukup memprihatinkan.

Meski hidup dalam keprihatinan, namun tidak membuat kelima Nenek bersaudara ini mengalah kepada keadaan. Mereka tetap gigih berjuang dan bangkit dalam mengarungi kerasnya kehidupan.

Dalam usia tua, mereka harus tetap bekerja untuk hidup sehari hari. Tidak ada yang bias dimakan, ketika mereka tidak bekerja dan menghasilkan uang. Memang miris rasanya, melihat kelima Nenek bersaudara ini, yang masih memikul pekerjaan sehari-hari, padahal sudah seharusnya mereka tinggal beristirahat di rumah, dan menikmati sisa hidup. Mereka berlima menjadi tipikal pekerja ulet yang mampu mengalahkan anak muda.

Kondisi kehidupan 5 Nenek ini, memang mengharukan. Nenek Ng Nyiun Kiau (85 tahun), menghidupi dirinya dengan memelihara ayam.  Bila piaraannya sudah besar, ia jual beserta telurnya untuk membeli beras dan makan untuk dirinya dan saudaranya Ng Sin Kiau (75 tahun).

Nenek Ng Nyiun Kiau tinggal satu gubuk kecil berukuran 4 x 3 meter yang telah ditempatinya sejak puluhan tahun silam. Sampai sekarang lantainya masih beralaskan tanah. Gubuk kecil itu hanya ada satu pintu masuk, yang di dalamnya terdapat satu tempat tidur yang hanya beralaskan karung goni, berukuran lebar 1 meter, dan panjang 2 meter. Tidak ada bantal dan kasur.

Di dalam gubuk kecilnya itu, tidak ada satu pun barang istimewa, hanya ada beberapa kursi tua, ember, panci, dan kain tikar yang terbentang sebagai tempat bersandar. Di sebelah kiri, terdapat satu meja kecil untuk meletakkan peralatan makan.

Sedangkan di sebelah kanan, adalah dapur berisi tumpukan ranting-ranting kayu bakar yang dikumpulkan untuk keperluan memasak nasi dan air minum.

Di antara kayu-kayu bakar, tampak beberapa piring plastik dan mangkuk menghiasi meja papan. Bahkan sebagian dinding dapur tidak ada lagi, sehingga terbuka lebar.

Tidak hanya dindingnya yang sudah rusak, atapnya yang berupa daun nipah, sebagian sudah bolong. Bahkan saat hujan turun, tempat masaknya sering kebanjiran. Ember plastik yang biasanya digunakan untuk menimba air, digunakan untuk menampung air hujan, supaya tidak membanjiri ruangannya.

Gubuk kecilnya itu, berdekatan kandang ayamnya. Bau amis menyeruak di dalam gubuknya. Meski dari gubuknya tercium bau tidak sedap, dan nyamuk beterbangan, nenek Ng Nyiun Kiau tetap bertahan dan menempati gubuknya selama puluhan tahun lamanya.

Di dalam gubuknya itu, juga tidak ada penerangan listrik, dan tidak dilengkapi tempat mandi cuci, dan kakus (MCK) yang memadai.

Satu-satunya kekayaan Nenek Ng Nyiun Kiau, hanyalah puluhan ekor ayam peliharaannya. Untuk memenuhi pakan ayam, Nenek Ng Nyiun Kiau selalu menyisihkan makanan dari hasil penjualan telur dan kelapa tua.

Kehidupan nenek Ng Moi Kiau (80 tahun), juga tidak kalah memprihatinkan. Setiap hari, dia harus menjajakan buah dan sayuran dengan mengengkol sepeda, sejauh belasan kilometer.

Kepada Majalah Info Kalimantan, ia mengaku sejak pagi sudah berangkat berjualan keliling dengan tidak menghiraukan hujan maupun panas. Ia sudah puluhan tahun menggeluti usahanya. Dan selama itu, dirinya tidak pernah mengeluhkan nasibnya. Ia tetap berjualan demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

"Saya dari jam 7 pagi sudah jualan. Saya menjual apa saja yang bisa ditukarkan rupiah. Kadang saya menjual nanas, pepaya, sirsak, nangka, bengkuang, ubi kayu, ubi rambat, telur bebek, dan juga berbagai jenis sayuran, keliling beberapa ruas Jalan dan pemukiman penduduk,"  ujarnya.

Meski jarak rumah dan tempat dia berjualan cukup jauh, Nenek Ng Moi Kiau tidak memedulikannya. Sebab dengan berjualan sayur dan buah keliling inilah, asap dapur rumahnya masih bisa mengepul.

Ia mengambil buah dan sayuran yang ditanam adiknya, Ng Chin Kiau, atau langsung ambil di kebun sayur terdekat untuk dijual. Kadang ia menjual telur ayam, hasil ternak kakaknya Ng Nyiun Kiau. Keuntungan yang ia peroleh, setiap hari hanya berkisar antara Rp 20 ribu sampai Rp 30 ribu rupiah.

Dengan penjualan sayur dan buah, ia hanya bisa mengumpulkan penghasilan kurang lebih Rp 150 ribu per minggu. Uang sebesar itu, digunakan membeli beras dan lauk yang cukup untuk makan selama lebih kurang 5 atau 6 hari.

Ia mengaku, sering sakit-sakitan. Kedua kakinya sering kesemutan, bahkan terkadang susah berjalan. Namun hal tersebut harus ditahannya agar bisa bekerja dan menyambung hidupnya.

Meski pun hidup susah, tetapi dirinya tidak pernah kelaparan, karena terkadang ada warga membantunya meski pun tidak sepenuhnya.

Ketika ditanya apa keinginannya, Nenek Ng Moi Kiau yang tubuhnya sudah membungkuk, hanya berharap ada orang yang membantu membiayai pengobatan kedua matanya yang sudah rabun, agar bisa melihat lebih jelas.

"Sejak beberapa bulan ini, penglihatan saya mulai kabur, seperti ada bayangan kabut. Saya khawatir, mata saya terkena katarak," tukasnya.

Menurut informasi yang dihimpun Majalah Info Kalimantan, Nenek Ng Moi Kiau memiliki sifat yang baik dan ramah kepada siapa saja. Meski hidup dalam keprihatinan, ia gemar membantu sesama. Ia sering membawakan oleh-oleh kepada para pelanggannya.

Sungguh luar biasa, kehidupan yang dijalani Nenek Ng Moi Kiau. Dengan usianya yang sudah uzur, ia bisa sabar menjalankan hidupnya, meski pun begitu sakit-sakitan dan berjualan sayur berkeliling, sejauh belasan kilometer, dengan mengayuh sepeda tua.

Banyak warga mengaku iba dan menaruh hormat kepada dirinya, yang lebih memilih berjuang hidup mandiri, dan tidak mengemis di jalanan atau mengharap belas kasihan orang lain.

Perjalanan hidup Nenek Ng Moi Kiau, bersama 4 saudaranya ini memberikan pelajaran berharga bagi sesama, terutama bagi kaum muda, untuk tetap berjuang dan terus berusaha dalam menghadapi hidup.

Kisah nyata perjuangan 5 Nenek bersaudara hidup dalam keprihatinan ini, setidaknya mampu memberi pembelajaran berharga bagi kita. Saat kita jatuh dan terpuruk dalam ketidak berdayaan, kita ingin segera keluar dari kesulitan, dan berharap ada keajaiban yang akan datang menghampiri kita, setidaknya mendapat pertolongan atau bantuan siapa saja dan entah dari mana saja. Sebaliknya, ketika kita memiliki kemampuan, kelebihan, atau di saat sedang sukses, apakah kita bersedia menjadi orang yang membawakan kabar sukacita, atau mengulurkan tangan berbagi kepada sesama yang membutuhkan ?

Kebaikan memang butuh dipraktikkan, dan perlu dibiasakan. Seperti pepatah bijak “Terkadang kita mengalami kesulitan, saat akan menjadi orang yang baik, tetapi jauh lebih baik menjadi orang yang benar-benar tulus dan baik, walaupun kondisi kehidupan kita sedang sulit”

Liputan berita yang saya posting-kan di akun facebook ini menjadi menarik, bukan saja karena keprihatinan kepada kelima Nenek tersebut, masih tetap berjuang dalam mengais rezeki, tetapi juga menjadi bahan perenungan dan inspirasi bagi siapa pun, untuk menata hidup yang lebih baik lagi. Sama sekali tidak boleh berfoya-foya menghamburkan harta, atau bermalas-malasan, tidak mau berusaha. Berhenti berjuang, berarti menyia-nyiakan rahmat dan karunia. (Rio Dharmawan)

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1254116888049423&id=100003533724095

Posting Komentar

0 Komentar