Trend Konsumsi (Bisnis)

Ketika Pendapatan per kapita di China tembus USD 5000 per tahun, sahabat saya yang juga pemimpin Venture Capital di China mengatakan bahwa akan terjadi perubahan gaya hidup orang China. Ketika pendapatan di bawah USD 1000, orang cenderung mengutamakan konsumsi makanan. Produksi pangan menjadi primadona. Makan tujuannya kenyang biar bisa kerja keras. Ketika pendapatan per kapita naik jadi USD 3000, orang sudah mulai memperhatikan penampilan pakaian. Kalau tadi beli baju baru dan aksesori pakaian setahun sekali berubah jadi sebulan sekali. Dan ketika pendapatan per kapita tembus USD 5000 per tahun, maka orang tidak lagi mikirkan pakaian bermerek dan sesuai trend model. Yang diutamakan nyaman dipakai. Tidak lagi memikirkan makan asal kenyang tetapi makan untuk sehat sambil menikmati waktu santai.

Apa yang terjadi di China juga terjadi di negara mana pun. Karena trend gaya hidup sesuai dengan penghasilan. Kini terjadi di Indonesia. Di mana bisnis retail yang menjual pakaian, mainan anak, eletronic sudah kehilangan daya beli. Itu bukan karena orang tidak ada uang untuk belanja. Tetapi meningkatnya kelompok menengah di era Jokowi telah mengubah trend belanja. Orang hanya datang ke Mall dengan tujuan utama menikmati waktu santainya. Makan di Pujasera dahulu terasa mewah walau berdesak ramai tetapi kini orang lebih memilih restoran yang menawarkan kenyamanan sambil bersantap. Harga, enggak penting.

Apa yang terjadi?

Orang tidak mau makan kenyang karena takut gemuk. Akibatnya konsumsi beras turun. Orang malas beli baju bermerek karena di era sosial media, orang tidak harus ketemu tiap hari. Dengan fake show lewat sosmed orang sudah merasa seperti artis tenar. Dan lagi Mark Zuckerberg dan Priscilla Chan yang dikenal the best couple on the world selalu tampil sederhana, tetapi kayanya ampun. Sekarang anak usia 3 tahun sudah mahir gunakan smartphone untuk main game, akibatnya penjualan mainan anak-anak juga turun. Orang juga sudah engga tertarik untuk beli kebutuhan hari-hari datang ke Supermarket. Itu urusan ART, akibatnya buy by order tanpa ada kemampuan menjebak belanja lebih. Dengan adanya smartphone, sudah pasti memangkas konsumsi tape recorder, video game, video, radio, kamera, dan buku serta majalah.

Lantas ke mana uang berlebih dari adanya peningkatkan income masyarakat?

Uang itu lebih banyak mengalir ke sektor personal investasi seperti Reksadana dan cicilan Properti. Kalau pun ada uang sisa maka konsumsi untuk kebutuhan leisure time. Dahulu orang suka datang ke dunia hiburan malam karena alasan prostitusi tetapi kini orang lebih suka ke cafe berkelas sambil melakukan networking siapa tau mendapat kesempatan usaha baru. Bukan lagi orientasi dugem tetapi touching friendship saling berdiskusi dalam satu visi dan minat. Makanya Orientasi berubah menjadi lebih kepada sikap terbuka dan modern yang gemar piknik di dalam maupun luar negeri. Jangan kaget di tengah daya beli menurun malah Pariwisata menyumbang pendapatan nomor dua terbesar di Negeri ini, mengalahkan migas.

Bagaimana kita menyikapi ini?

Kalau Anda tetap ingin berbisnis tradisional maka jangan tinggal di kota besar yang middle class-nya terus tumbuh tetapi pindah ke daerah lain yang middle class-nya masih rendah. Kalau Anda ingin sukses mendapatkan potensi pasar dari tumbuhnya middle class di kota besar di Indonesia maka ciptakanlah “business model“ yang sesuai dengan trend konsumsi mereka. Hanya itu. Pilihan ada pada Anda. Ingat perubahan terjadi dengan sendirinya. Tidak ada gunanya mengeluh karena itu semakin mununjukan Anda lemah dan mudah tersingkir. Apalagi menyalahkan pemerintah dengan berkembangnya business digital/online.

Mari bersikap kritis dan hidup cerdas.
===
Ejb

._
@grupWA, 08112018

Posting Komentar

0 Komentar