“Berapa harganya Nek?”

Merinding

Itu ... serius anak SD?
Kok bisa? 😒😒

Sesudah Jumatan aku masih duduk di teras masjid di salah satu kompleks sekolah. Jemaah masjid sudah sepi, bubar masing-masing dengan kesibukannya.

Seorang nenek tua menawarkan dagangannya, kue tradisional. Satu plastik harganya lima ribu rupiah. Aku sebetulnya tidak berminat, tetapi karena kasihan aku beli satu plastik.

Si nenek penjual kue terlihat letih dan duduk di teras masjid tak jauh dariku. Kulihat masih banyak dagangannya. Tak lama kulihat seorang anak lelaki dari kompleks sekolah itu mendatangi si nenek. Aku perkirakan bocah itu baru murid kelas satu atau dua.

Dialognya dengan si nenek jelas terdengar dari tempat aku duduk.

“Berapa harganya Nek?”
“Satu plastik kue Lima ribu, Nak.” jawab si nenek.

Anak kecil itu mengeluarkan uang lima puluh ribuan dari kantongnya dan berkata, “Saya beli 10 plastik, ini uangnya, tetapi buat Nenek saja kuenya kan bisa dijual lagi.”

Si nenek jelas sekali terlihat berbinar-binar matanya, “Ya Allah terima kasih banyak Nak. Alhamdulillah ya Allah kabulkan doa saya untuk beli obat cucu yang lagi sakit.” Si nenek langsung jalan.

Refleks aku panggil anak lelaki itu.

“Siapa namamu? Kelas berapa?”
“Nama saya Radit, kelas 2, Pak.” jawabnya sopan.

“Uang jajan kamu sehari lima puluh ribu?”
”Oh ... tidak Pak, saya dikasih uang jajan sama papa sepuluh ribu sehari. Tapi saya tidak pernah jajan, karena saya juga bawa bekal makanan dari rumah.”
 

“Jadi yang kamu kasih ke nenek tadi tabungan uang jajan kamu sejak hari Senin?” tanyaku semakin tertarik.

“Betul Pak, jadi setiap Jumat saya bisa sedekah lima puluh ribu rupiah. Dan sesudah itu saya selalu berdoa agar Allah berikan pahalanya untuk ibu saya yang sudah meninggal. Saya pernah mendengar ceramah, ada seorang ibu yang Allah ampuni dan selamatkan dari api neraka karena anaknya bersedekah sepotong roti, Pak.” anak SD itu berbicara dengan fasihnya.

Aku pegang bahu anak itu, ”Sejak kapan ibumu meninggal, Radit?”
“Ketika saya masih TK, Pak.”

Tak terasa air mataku menetes, “Hatimu jauh lebih mulia dari aku Radit, ini aku ganti uang kamu yang lima puluh ribu tadi ya ….” kataku sambil menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan ke tangannya.

Tapi dengan sopan Radit menolaknya dan berkata, “Terima kasih banyak, Pak … Tetapi untuk keperluan Bapak saja, saya masih anak kecil tidak punya tanggungan … tetapi Bapak punya keluarga … saya pamit balik ke kelas Pak.”

Radit menyalami tanganku dan menciumnya.

“Allah menjagamu, nak ....” jawabku lirih.

Aku pun beranjak pergi, tidak jauh dari situ kulihat si nenek penjual kue ada di sebuah apotek. Bergegas aku ke sana, kulihat si nenek akan membayar obat yang dibelinya.

Aku bertanya kepada kasir berapa harga obatnya. Kasir menjawab, ”Empat puluh ribu rupiah.”

Aku serahkan uang yang ditolak anak tadi ke kasir, ”Ini saya yang bayar … Kembaliannya berikan kepada si nenek ini.”

“Ya Allah ... Pak .…”

Belum sempat si nenek berterima kasih, aku sudah bergegas meninggalkan apotek … Aku bergegas menuju Pandeglang menyusul teman-teman yang sedang keliling dakwah di sana.

Dalam hati aku berdoa semoga Allah terima sedekahku dan ampuni kedua orang tuaku serta putri tercintaku yang sudah pergi mendahuluiku kembali kepada Allah.

Sahabat ada kalanya seorang anak lebih jujur dari pada orang dewasa, ajarkanlah anak-anak kita dari dini tindakan nyata yang bukan teori semata.

Kisah ini dari hamba Allah.
Silakan di-share sahabat

._
@grupwa, 18102018

Posting Komentar

0 Komentar