Surga yang Tertunda, Kekayaan yang Tergadai

Dialog dengan AI: Surga yang Tertunda, Kekayaan yang Tergadai 
GWS, 22 Mei 2025 

Coba, bayangkan sebentar: Anda seorang anak Indonesia yang terlahir di atas tanah subur bernama zamrud khatulistiwa. Setiap hari Anda dininabobokan dengan dongeng "negeri kaya raya" sejak TK hingga pidato kenegaraan. Anda tumbuh besar dengan janji kemakmuran yang selalu datang "sebentar lagi," seperti kereta Jabotabek yang terlambat namun tak pernah benar-benar tiba. Lalu di suatu malam, sembari menikmati secangkir kopi robusta Toraja yang ironisnya lebih dihargai di Seattle daripada di Jakarta, Anda iseng bertanya kepada sebuah algoritma digital: "Bagaimana membuat Indonesia kaya dengan cepat?"

ilustrasi zamrud khatulistiwa | @topswara

Tak disangka, mesin tanpa nyawa itu memberikan respons yang lebih bernyawa daripada kebanyakan dokumen perencanaan pembangunan kita. Algoritma itu membalas dengan cetak biru industrialisasi nasional yang detail—mulai dari strategi hilirisasi mendalam, rekayasa keuangan inovatif, reformasi birokrasi radikal, hingga transformasi narasi kebudayaan. Seolah-olah saya tengah berdialog dengan Bung Hatta yang reinkarnasi menjadi kecerdasan buatan, terbebas dari jerat politik transaksional yang membuat para pemimpin kita lebih sibuk mengurusi elektabilitas daripada produktivitas.

Dan yang paling mencengangkan—atau mungkin justru menyedihkan? Jawabannya jauh lebih masuk akal dibanding banyak diskursus pembangunan Indonesia yang selama ini kita dengar. 

Industrialisasi: Dari Jargon Hampa Menuju Kerja Nyata

AI ini memulai dari titik yang sering kita hindari lebih keras daripada menghindari makanan berpengawet: industrialisasi sebagai proses transformatif, bukan sekadar jargon kosong penghias pidato dan baliho. Ia menawarkan visi industrialisasi yang mengubah sumber daya mentah menjadi aset strategis bernilai tinggi—sesuatu yang selama ini kita lakukan dengan semangat setengah hati, seperti pejabat yang berolahraga hanya saat ada fotografer.

"Tidak cukup mengolah nikel menjadi baterai," tulisnya. "Indonesia harus menguasai jalur dari sawit ke oleokimia canggih, biosurfaktan, kosmetik premium, dan produk farmasi. Tidak cukup mengekspor batu bara, kita harus membangun ekosistem energi dan material terintegrasi berbasis sumber lokal."

Bayangkan batu bara kita—si hitam legam yang selama ini kita perlakukan seperti kerupuk yang tinggal digoreng dan dijual. Batu bara tak boleh lagi berhenti sebagai komoditas ekspor mentah yang dibakar habis tanpa nilai tambah, seperti bakat anak kampung yang hanya menjadi kuli bangunan. Ia bisa dan harus diolah menjadi dimethyl ether (DME) untuk substitusi elpiji impor yang menguras devisa seperti ember bocor, karbon aktif untuk keperluan medis dan lingkungan, hingga grafit sintetis yang menjadi komponen strategis dalam baterai kendaraan listrik yang selama ini kita impor dengan bangga seperti membeli baju lebaran.

Teknologi coal gasification dan liquefactionkata-kata yang mungkin terdengar seperti mantra dalam film Harry Potter bagi sebagian besar kita—sebenarnya memungkinkan konversi batu bara menjadi metanol, bahan bakar cair, bahkan bahan baku industri petrokimia. Namun entah mengapa, kita lebih piawai menghafal nama-nama K-Pop daripada memahami teknologi hilirisasi ini.

Dalam skenario ideal, Indonesia tidak lagi menjual batu bara dalam bentuk tonase seperti pedagang pasir yang hanya tahu kilogram, tetapi sebagai rantai nilai energi dan material—dari bahan bakar bersih, bahan kimia industri, hingga teknologi energi terbarukan berbasis hibrida lokal. Hilirisasi batu bara bukan sekadar alternatif untuk menyerap pasokan domestik, melainkan menjadi jembatan transisi energi menuju ekonomi rendah karbon yang tetap mengandalkan keunggulan sumber daya sendiri—sebuah konsep yang mungkin terlalu kompleks untuk dimasukkan dalam baliho kampanye.

Industrialisasi yang digambarkan adalah beyond smelterbukan sekadar membangun pabrik pengolahan seperti toko kelontong yang buka hanya karena ikut-ikutan tetangga, tetapi memiliki, menguasai, dan terus memperdalam proses produksi. Yang lebih penting lagi, industrialisasi yang dirancang dan dikendalikan oleh putra-putri bangsa, bukan sekadar menjadi tuan rumah bagi pabrik asing seperti satpam kompleks mewah yang hanya bisa menonton dari pos jaga.

Pasar Domestik: Si Kaya yang Tidur di Kasur Jerami

Dengan penduduk mendekati 300 juta jiwa, Indonesia sebenarnya memiliki pasar domestik yang sangat berharga. Namun tanpa desain strategis, pasar ini hanya menjadi "koloni ekonomi" bagi produk asing—seperti pepatah Sunda "boga jarum, tetapi teu boga benang" (punya jarum, tetapi tidak punya benang).

ChatGPT mengusulkan strategi revolusioner yang terdengar sederhana namun jarang terpikirkan oleh think tank kita: "Build for the Bottom 100 Million"—mengembangkan produk dan jasa bernilai tambah untuk mayoritas masyarakat menengah-bawah, bukan sekadar memenuhi kebutuhan konsumtif kelas atas. Sebuah strategi yang kontras dengan obsesi kita pada mal-mal mewah yang memeras devisa untuk impor barang bermerek, sementara industri lokal teronggok seperti warung tegal di samping restoran Korea.

"Indonesia perlu membangun ekosistem kesehatan dan pendidikan yang mandiri," jelasnya, "agar kita tidak terus membiayai rumah sakit dan universitas asing melalui devisa yang terkuras." Urbanisasi pun harus diarahkan menuju kota-kota industri baru di luar Jawa—kota yang memproduksi, bukan hanya pusat konsumsi seperti mal-mal Jakarta yang lebih mirip museum barang impor daripada pusat kegiatan ekonomi produktif.

Kapitalisme Gotong Royong: Ketika Si Pitung Berdamai dengan Adam Smith 

"Bagaimana membiayai transformasi ini?" tanya saya, membayangkan segudang alasan klasik mengapa "anggaran terbatas" atau "APBN tidak cukup"—mantra sakti penolak inovasi kebijakan.

Jawaban dari AI ini mengejutkan: "Dengan kapitalisme gotong royong." Sebuah konsep yang menggabungkan efisiensi pasar dengan solidaritas kolektif masyarakat Indonesia—persis seperti mengawinkan kelinci dengan kura-kura, yang terdengar mustahil namun mungkin saja menghasilkan keturunan yang cepat dan tahan banting.

Ia mengusulkan pembentukan dana abadi strategisbukan hanya untuk investasi infrastruktur, tetapi juga untuk riset, digitalisasi publik, dan pembiayaan teknologi skala mikro. Ia berbicara tentang koperasi digital yang menjadi backbone ekonomi lokal, crowd-investing berbasis proyek masyarakat, hingga reformasi pajak yang mendorong reinvestasi produktif daripada konsumsi berlebih. Konsep yang membuat Mohammad Hatta mungkin tersenyum di alam sana, sementara para pengusung ekonomi neoliberal menggaruk-garuk kepala.

"Bukan tax holiday untuk barang konsumsi, tetapi insentif fiskal untuk ekspor berteknologi—itulah yang Indonesia butuhkan," tegasnya. Pernyataan yang mengingatkan kita pada kebiasaan memberi diskon pajak kepada importir mobil mewah, sementara pengrajin alat pertanian lokal harus berjuang sendiri seperti perenang di lautan tanpa pelampung.

Negara Pengembang, Bukan Sekadar Wasit Tanpa Kartu

"Negara tidak boleh terus menjadi wasit pasif dalam pertandingan ekonomi," tulis AI tersebut. "Indonesia membutuhkan negara yang bertindak sebagai pengembang utama ekosistem produksi nasional."

Setiap kementerian dan kepala daerah, usulnya, harus dievaluasi bukan dari serapan anggaran seperti mengukur keberhasilan diet dari jumlah makanan yang habis, tetapi dari output nilai tambah yang dihasilkan. Presiden bukan sekadar administrator birokrasi yang sibuk rapat dan foto, tetapi CEO pembangunan nasional dengan visi jangka panjang.

Gagasan paling berani? "Indonesia membutuhkan Pakta Industrialisasi 2045—konsensus elite politik yang mengunci strategi industrialisasi sebagai prioritas nasional lintas rezim." Karena tanpa visi jangka panjang yang dilindungi dari perubahan politik, strategi besar selalu dikorbankan demi elektabilitas sesaat—seperti pohon jati yang ditebang untuk membuat pagar kampanye pilkada.

Imajinasi Kolektif: Bermimpi Mencipta, Bukan Hanya Membeli 

ChatGPT menutup strateginya dengan aspek yang sering luput dari diskusi ekonomi seperti lubang di jalan tol: imajinasi kolektif bangsa. "Masyarakat yang hanya bangga membeli tidak akan pernah belajar mencipta," tulisnya—sebuah sindiran telak untuk bangsa yang lebih bangga dengan mal kelas dunia daripada pabrik komponen presisi.

"Indonesia butuh tokoh teladan barubukan selebritas atau politisi, tetapi insinyur, perancang chip, pembangun pabrik, dan pionir ekspor. Figur yang mewakili masa depan, bukan nostalgia." Bayangkan sejenak: bagaimana jika kita punya majalah "Insinyur Kawakan" yang sepopuler "Seleb Kawakan"? Bagaimana jika kita memiliki reality show "Master of Engineering" yang seramai "Master Chef"?

Literasi ekonomi, menurutnya, harus ditanamkan sejak dini—di sekolah, di media sosial, bahkan dalam konten hiburan. "Bagaimana mungkin kita membangun negara industri jika anak muda hanya bermimpi menjadi influencer, bukan insinyur?" Pertanyaan yang menohok bagi negeri dengan jutaan content creator namun kekurangan produsen komponen otomotif.

STEAM dan Insinyur: Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang Masih Tanda Tanya 

Ketika saya menanyakan peran sains dan teknologi, jawabannya lebih tajam dari kebanyakan pidato kenegaraan yang lebih mirip mantra penenang daripada strategi nyata: "Tanpa STEAM dan insinyur, industrialisasi hanyalah presentasi PowerPoint tanpa eksekusi."

Insinyur, menurutnya, adalah pelaksana nyata dari kedaulatan ekonomimereka yang membangun sistem energi, merancang logistik, menciptakan produk lokal. Namun mereka juga perlu naik kelas—bukan hanya sebagai teknisi yang mengganti bola lampu saat mati, tetapi sebagai navigator masa depan dan arsitek ekosistem.

"Indonesia perlu membangun jaringan politeknik yang terintegrasi langsung dengan industri strategis," usulnya. "Mengubah insinyur menjadi pahlawan budaya, dan mendesentralisasikan inovasi ke kota-kota baru di luar Jawa." Sebuah visi yang kontras dengan kondisi saat ini, di mana fakultas teknik sering menjadi "pilihan kedua" setelah fakultas ekonomi atau hukum—seperti soto ayam yang baru dipesan setelah bakso habis.

Ekspor, Impor, FDI: Trio yang Sering Bertengkar dalam Satu Perahu 

Diskusi tentang perdagangan internasional sering terjebak dalam dikotomi sempit seperti warung kopi jelang pilpres: pro-ekspor versus anti-impor, atau pro-FDI versus proteksionis. ChatGPT menawarkan perspektif yang lebih canggih daripada kebanyakan diskusi ekonomi di TV yang lebih mirip pertengkaran warung kopi.

"Ekspor bukan sekadar volume, tetapi nilai tambah dan penguatan merek nasional. Impor bukan musuh, tetapi alat untuk membangun kapasitas lokal. FDI bukan sekadar modal masuk, tetapi harus dikurasi dan diarahkan untuk membangun kemampuan nasional."

Menurutnya, ekspor, impor, dan investasi asing bukan tiga jalur yang bertentangan seperti tiga partai politik yang berkoalisi namun saling sikut, tetapi tiga instrumen dalam satu orkestra industrialisasi yang terkoordinasi. "Pertanyaan kuncinya bukan seberapa besar modal asing masuk, tetapi siapa yang memegang kendali dan siapa yang membangun nilai." Sebuah pertanyaan yang jarang diajukan dalam diskusi ekonomi kita yang sering terpesona pada angka-angka besar tanpa melihat substansi di baliknya.

Gajah di Ruang Tamu: Korupsi dan Nepotisme yang Tak Kunjung Dijinakkan 

Ada seekor gajah dalam ruang diskusi kita yang selama ini hanya kita tonton dari sudut mata—seperti kotoran di lantai pesta yang semua tamu pura-pura tidak melihat. Korupsi dan nepotisme—dua saudara kembar yang telah menjadi "Pancasila Kedua" dalam tata kelola negeri ini. Apa pun cetak biru kemajuan yang kita bicarakan, sekaliber apa pun teknologi yang kita impor, dan seberapa brilian pun konsultan yang kita bayar, semua akan berakhir seperti sinetron—panjang, berbelit, dan bermuara pada kebuntuan yang sama.

Indonesia, siapa pun pemimpinnya, seolah terjebak dalam lingkaran setan korupsi sebagaimana digambarkan pepatah Jawa "kacang mangsa ninggal lanjaran" (kacang tidak akan meninggalkan kayu penyangganya). Visi industrialisasi kita mandek di pabrik-pabrik perakitan yang tidak pernah naik kelas karena izin dan regulasi dijadikan komoditas. Ekosistem inovasi kita kering kerontang karena dana riset menguap di tengah jalan seperti air yang dituang di atas pasir Sahara. Proyek infrastruktur kita lebih sering menjadi monumen korupsi daripada fondasi produktivitas.

"KKN" bukan sekadar tiga huruf yang kita hafal sejak reformasi, tetapi virus yang telah bermutasi menjadi lebih canggih, lebih tersembunyi, namun tak kalah mematikan bagi organisme bernama Republik Indonesia. Jika di masa lalu korupsi dilakukan dengan tangan telanjang, kini ia mengenakan sarung tangan bedah yang steril dan rapi. Jika dahulu nepotisme berbentuk mencomot keponakan menjadi direktur BUMN, kini ia berwujud "penempatan strategis" yang dibungkus dengan jargon profesionalisme.

Penutup: Ketika Mesin Memberikan Visi yang Manusia Takut Impikan

Percakapan dengan ChatGPT ini menyisakan ironi ganda yang mendalam: pertama, sebuah algoritma tanpa nyawa mampu menawarkan peta jalan yang lebih rasional dan berani daripada banyak manusia yang duduk di kursi kekuasaan dengan gelar panjang dan jabatan tinggi—seperti kata pepatah Minang, "gadang baruak gadang kakinyo" (besar beruk besar kakinya; besar pangkat, besar pula kesempatan untuk berbuat).

Kedua, kita telah menjadikan korupsi dan nepotisme sebagai kambing hitam yang sempurna untuk segala kegagalan, sementara kita sendiri enggan mengakui bahwa keduanya adalah cermin dari sikap transaksional yang telah mengakar dalam budaya kita sendiri—mulai dari menyogok polisi untuk pelanggaran lalu lintas hingga membayar "uang pelicin" untuk mempercepat pengurusan KTP.

Indonesia masih bisa menjadi negara kaya dengan cepat—bukan karena utang seperti pemuda yang kaya mendadak karena pinjol, bukan karena menjual tanah seperti tuan tanah yang habis warisan, dan bukan karena menumpuk konsumen seperti pedagang yang menjual dagangan tanpa pernah memproduksi, tetapi karena menghasilkan, memproses, dan mendistribusikan kekayaan secara adil dan berkelanjutan. Namun semua itu hanya mungkin jika kita berani mencabut akar korupsi dan nepotisme yang telah melilit erat batang pohon negara kita.

Yang kita butuhkan bukan teknologi tercanggih, tetapi kehendak kolektif untuk bertindak dan keberanian untuk memutus rantai korupsi—dimulai dari diri sendiri. Jika sebuah mesin kecerdasan buatan bisa memetakan jalan menuju kemakmuran dengan begitu jelas, mengapa kita sebagai bangsa belum juga melangkah dengan pasti?

ilustrasi bawah kapal bocor | @kompas

Saatnya Indonesia bergerak dari sekadar bertumbuh seperti buncis tanpa arah, menuju benar-benar berkembang dan menjadi makmur—atau akankah kita terus menjadi negara dengan sejuta rencana namun minim eksekusi, seribu celoteh anti-korupsi namun minim integritas?

Seperti kata almarhum Gus Dur: "Kita kebanyakan mengurus yang di atas, tetapi lupa yang di bawah bocor." 

Pertanyaannya:siapkah kita menambal kebocoran itu, atau kita lebih suka berlatih mengeluh sambil terus hidup di rumah yang atapnya berlubang? 

._
@gw, 22052025

Posting Komentar

0 Komentar