Antara Bakti dan Hormat Menurut Falsafah Tionghoa

Semalam (21 Juli 2020) saya mengikuti ‘Kuliah MBA University’ yang disampaikan oleh Romo J.A. Hendra Suteja, S.J. (RHS) melalui channel Zoom di atas 👆. 

Sebagai orang Tionghoa Katolik, perasaan saya campur aduk ketika mengikuti materi kuliah itu.  Ada rasa bangga, ada rasa terharu tetapi juga ada rasa malu. 

Betapa tidak? 

Sebagai keturunan Tionghoa, saya tidak memahami akar budaya leluhur sendiri.  Bahkan, sering kali ikut larut dan tidak terpanggil untuk mempelajari akar budaya Tionghoa walaupun ada yang sinis dan mencemooh pada satu-dua ritual Tionghoa. Misalnya, menengok kuburan leluhur pada hari Cengbeng 5 April. Atau bahkan turut menganggap itu sebagai peristiwa takhayul yang berada di luar keimanan Kristen. 

Kuliah satu jam tadi malam benar-benar membuka mata saya dari pandangan kelam pada Budaya Tionghoa. 

Gereja Katolik, rupanya, memandang perlu mempelajari Budaya Tionghoa sehingga menugaskan RHS untuk studi bahasa, budaya dan pemikiran Tionghoa pada 1978-1981 di Taiwan.  Studinya dilanjutkan di Faculty of Theology, Fu Jen Catholic University juga di Taiwan pada 1982-1985. Jadi total, RHS belajar 7 tahun di Taiwan. Setelah 1988-1991 mengambil S2 di Roma, RHS menerima gelar Doktor dan dari 2016 sampai sekarang mengajar (dosen) ‘Filsafat Tionghoa’ di STF (Sekolah Tinggi Filsafat) Driyarkara, Jakarta.

Walaupun tidak dijelaskan secara langsung, saya yakin beliau adalah salah satu referensi Gereja Katolik ketika akan mengadakan Inkulturisasi Budaya Tionghoa.

Semalam, RHS menjelaskan konsep berpikir peradaban Tionghoa Ben-mo

Setiap benda punya pangkal dan ujung, setiap peristiwa punya awal dan akhir. 

Dalam kehidupan, budaya Tionghoa mengajarkan bahwa fajar akan selalu muncul kembali.
Dari gelap akan selalu terbit terang.
Dan dalam hidup, kita tidak perlu ekstrem baik dalam gelap maupun dalam terang.

RHS juga menjelaskan tata susunan hierarki keluarga Tionghoa yang menganut garis ayah (patriarkat). Yang kemudian berkembang menjadi lima relasi, yaitu raja-menteri, ayah-anak, suami-istri, kakak-adik dan teman-teman. 

Ayah harus murah hati dan kasih pada anak, anak harus berbakti pada ayah; 
Suami mengurus bagian luar dan istri bagian dalam; 
Kakak melindungi adik dan adik menghormati kakak; 
Antar teman saling menjaga kepercayaan. 

Semuanya berakar pada keutamaan yang disebut ‘Xiaoti’ yaitu bakti dan hormat. 

Apakah perbedaan antara bakti dan hormat menurut falsafah Tionghoa?

Xiao adalah ungkapan hormat pada orang tua. Selagi ayah masih hidup memperhatikan kehendaknya, setelah ayah wafat meneladani kebaikannya dan jika setelah tiga tahun tetap mengikuti jalan teladan ayah maka anak itu boleh disebut BERBAKTI

Jadi bakti bukan sekedar hormat dan patuh tetapi juga mengikuti teladan ayah-pun setelah beliau tiada. 

BAKTI inilah urat nadi dari peradaban Tionghoa.

Siapakah leluhur menurut budaya Tionghoa? 

Leluhur adalah orang pertama yang membangun keluarga di suatu tempat. Dari garis ibu, leluhur saya adalah kakek yang masih lahir di daratan China dan dari garis ayah leluhur saya adalah ayah kakek yang pertama kali datang dari daratan China. 

Selain ikatan darah, leluhur juga merupakan kekuatan yang menanamkan kebaikan dan menjaga keturunannya. 

Jadi leluhur dalam budaya Tionghoa bukan sekedar kenangan masa lalu dan berakhir ketika mereka telah tiada. Leluhur turut mewariskan nilai-nilai kebaikan dalam keluarga dan untuk itu keturunannya perlu tetap berbakti kepada mereka.

Dalam budaya Tionghoa, penghormatan terhadap leluhur bukan suatu kepercayaan agamis melainkan suatu keniscayaan norma hidup yang harus dilakukan sehari-hari. 

Salah satu bentuk penghormatan pada leluhur adalah dengan membersihkan dan memperbaiki makam mereka, juga membakar kertas uang seakan mengantar almarhum pada tata kehidupan di tempat lain. Tindakan ini dikategorikan sebagai ritual penghormatan terhadap leluhur. 

Budaya Tionghoa memiliki banyak sekali ritual. 

Kuliah semalam fokus pada ritual dalam kaitannya dengan penghormatan pada leluhur. 
Dari gagasan leluhur lahirlah penghormatan, dan dari penghormatan lahirlah Bakti dan Ritual. 

Itulah dasar budaya Tionghoa.

Anak berbakti kepada orang tua semasa hidupnya dengan melaksanakan ritual dalam bentuk merawat dan melayani orang tua. Saat orang tua meninggal melakukan ritual pernghormatan pada jenazah dan melanjutkan ritual dengan melakukan kebaikan dan teladan yang telah diwariskan oleh orang tua. Ritual tidak muncul karena apakah roh-roh benar ada atau tidak. 

Penghormatan dan persembahan kepada leluhur adalah ungkapan hormat dan bakti yang muncul dari rasa kasih.  Maka dalam budaya Tionghoa, Ritual adalah ungkapan puitis bukan agamis.

Jadi pengiriman uang, rumah-rumahan, pakaian-pakaian kepada leluhur itu bukanlah ungkapan keagamaan melainkan ujud BAKTI anak terhadap orang tua dan leluhurnya. 
Gereja Katolik mengadopsi sebagian yang memang sejalan dengan iman dan ajaran Katolik, tetapi Gereja Katolik mengajak umatnya untuk tidak menyalahkan, meremehkan apalagi mengolok-olok tradisi yang ada dalam budaya Tionghoa yang sekiranya tidak sejalan dengan ajaran gereja. 

Tidak semua isi kuliah bisa dituangkan di sini, bagi yang tertarik silakan klik link berikut ini. 
https://www.youtube.com/watch?v=2fbIWC2agPc&feature=youtu.be 

Frans Gunterus, 22 Juli 2020

._
@gW, 23072020

Posting Komentar

0 Komentar