Emakku

Sudah dua tahun ini Emak ikut tinggal di rumahku, Emak yang sudah sepuh dan berusia lebih dari enam puluh tahun. dahulu Emak tinggal berdua dengan bapak di desa, tetapi semenjak bapak pergi mendahului Emak, aku tak tega meninggalkannya sendirian, kuajak Emak ke rumahku di kota. 

Awalnya Bang Ardi, kakak tertuaku sempat mengajak Emak tinggal bersamanya tetapi tak lama karena istrinya keberatan dengan Emak yang makin hari makin rewel dan banyak maunya. 

"Mbakmu kadang sudah nahan hati dengan kelakuan Emak, Dek, cerewetnya minta ampun," keluh Kak Ardi ketika mengantar Emak ke rumahku. 

Semakin senja tingkah Emak seolah melampiaskan rasa ketika muda dahulu. Emak dahulu terlalu menurut pada bapak dan tak pernah ada maunya, sekarang ketika tua rasa yang  dahulu  ia tahan dengan mudah ia ungkapkan. 

  • "Nasi goreng pakai bumbu instan kayak gini tak enak." 
  • "Pakaian jangan di-laundry, tak bersih, enak cuci sendiri." 
  • "Anakmu itu jajan terus, tak sehat entar batuk." 
  • "Untuk apa beli hiasan dinding, buang-buang uang." 
  • "Kalau hari Minggu jangan kesiangan, jangan pemalas." 

Setiap hari, selalu saja omelan Emak mewarnai hari-hariku. Ketiga anakku kadang kena sasaran ocehan Emak, ada-ada saja yang salah di matanya. 

"Dengarkan saja, Dek, tak usah diladeni, wajar orang tua," nasihat suamiku ketika aku mengeluhkan sikap Emak yang kadang menjengkelkan. 

"Kadang aku emosi juga, Bang, kalau lama-lama kayak gini." 

Suamiku tersenyum dan mencubit pipiku. "Alhamdulillah kita masih diberi nikmat merawat orang tua, jangan sampai kelak kita menyesal ketika dia sudah tiada." 

Aku bergeming, benar juga. 

Hari Senin pagi, suamiku masih dinas di luar kota, kebetulan yang bantu di rumah terlambat datang. Anak-anak rewel, mandi pun harus ribut, sarapan mesti berantem dan pakai seragam lambatnya setengah mati. 

"Ayo, Nak, buruan entar mama terlambat," ucapku gusar. Jam delapan pagi ini ada rapat di kantor. 

Semalam aku tak enak badan, batuk dan pilek mungkin kecapaian karena sudah tiga hari bergadang mengerjakan laporan. 

"Nak, cangkul kita di mana ya?" tanya Emak ketika aku sedang memakaikan sepatu si bungsu. 

"Tak tahu, Mak, tanya Bi Inah saja di belakang," jawabku. Ada-ada saja Emak ini, di kala orang sibuk pagi-pagi dia sibuk nanyain cangkul. 

"Kata Bi Inah dia tak tahu," ucap Emak lagi. 

"Cari di belakang, Mak," jawabku kesal. Apa mendesaknya coba mencari cangkul di jam genting seperti ini. 

"Aisyah ayo nak buruan." Aku memanggil putriku yang dari tadi tak keluar kamar. Waktu semakin bergerak meninggalkan angka tujuh, aku semakin gelisah. 

"Bentar, Ma, masih cari buku PR semalam, tak ketemu," jawab Aisyah. 

"Mama tunggu lima menit, adikmu sudah di mobil semua. Kalau kamu belum keluar kami tinggal." 

"Nak, kamu cari dahulu cangkul, toh kamu belum pergi," ucap Emak gusar. 

Aku bergeming, malas menanggapi Emak. 

"Nak, ingat dahulu di mana kamu taruh cangkulnya." Emak mendesak, raut wajahnya pun terlihat kesal. 

Aisyah putriku berlari keluar rumah, ia segera masuk ke mobil. 

"Aku dan anak-anak berangkat ya, Mak." Aku mengambil punggung tangan Emak dan menciumnya cepat. 

Emak menarik lenganku, "Cari dahulu cangkulnya," ucap Emak. 

"Entar sore ya, Mak. " Aku tersenyum, berusaha sabar. 

"Emak mau sekarang!" Emak membentak. 

"Mak, aku ini sudah terlambat, hari ini ada rapat, kalau persentasiku gagal bisa gawat. Emak jangan buat masalah dong, untuk apa coba tanya cangkul sekarang? Wajar saja kalau istri Bang Ardi tak betah sama Emak kalau rewel kayak begini." Aku beranjak meninggalkan Emak, masuk mobil dan membanting pintunya. Kesal. 

Sekilas kulihat Emak terdiam dengan netra yang berkaca. 

Jantungku berdetak cepat seolah ada yang mengejar, napasku terasa sesak dan kedua netraku memanas. Baru kali ini aku membentak Emak, sebelumnya aku berhasil menahan diri dari kerewelan Emak namun kesabaran ada batasnya. Meledak sudah amarah ini. 

"Mama jangan kasar gitu dong sama Nenek," ucap Aisyah putriku. 

Aku diam. 

"Biasanya kan Mama sabar," Yusuf putra keduaku menimpali. 

"Nenek bilang dahulu waktu kecil Mama orangnya rewel, kalau tanya tak bisa stop, tetapi Nenek suka. Itu artinya Mama pintar kata Nenek. Terus Mama juga orangnya kalau ada mau tak bisa ditunda dan Nenek bilang itu bagus artinya Mama orangnya gigih." Aisyah berkata pelan. 

Aku bergeming kehilangan kata-kata. Anakku benar, bukankah sifat Emak dan aku kini sama? Kami sama-sama rewel, banyak maunya, selalu gigih bila ada keinginan tetapi hanya ada satu yang membedakan. Emak menganggap sikapku ini sebagai sebuah anugerah dan dengan senang hati menerimanya, tetapi aku? Dengan mudah aku menganggap Emak sebagai beban. 

Tak ada pembicaraan lagi di mobil hingga ketiga anakku turun dan masuk ke gerbang sekolah, ketiganya melambaikan tangan dengan netra yang juga  berkaca. Emak yang bagiku rewel itu adalah kesayangan bagi putra-putriku. 

Aku menepuk setir mobil berkali-kali, sepuluh menit lagi pukul delapan, bila memacu kendaraan dengan cepat maka aku masih bisa ke kantor tepat waktu tetapi ada yang mengganjal di hati, sebuah rasa berjudul penyesalan. 

Baru dua tahun Emak di rumah, Emak pun tak sakit-sakitan, masih bisa makan, minum dan membersihkan diri sendiri, hanya sedikit rewel saja. tetapi aku, anak yang telah sembilan bulan dikandungnya, dua tahun disusui, belasan tahun dirawat dan disekolahkan hingga akhirnya menikah pun masih tetap menyusahkan. Begitu mudah aku menganggap Emak sebagai beban. 

Tubuhku bergetar dengan napas yang tersendat, tumpah sudah air mata ini. Emak. 

Aku segera memarkirkan mobil di garasi dan berlari ke kamar Emak. Persetan dengan rapat dan persentasi, aku harus segera memohon maaf Emak. Paling-paling pekerjaanku akan diambil alih oleh teman kantor dan tahun ini tak dapat bonus. Itu tak penting, hati Emak lebih berharga dari apa pun, tak kan kubiarkan retak dan hancur. 

Kedua netraku menyisir kamar Emak yang kosong. Ke mana Emak? Aku berlari ke dapur. 

"Mana Emak, Bi?" tanyaku pada Bi Inah yang sedang mencuci piring. 

"Di halaman belakang, Bu, entah lagi apa tetapi kayaknya dari tadi ngucek-ngucek mata terus kayak nahan nangis gitu." 

Segera aku ke halaman belakang rumah di mana banyak tanaman Emak tumbuh subur. Emak sedang menggali sesuatu dengan pisau kecil ketika aku menghampirinya. 

"Lagi apa, Mak?" tanyaku. 

Emak menoleh dan tersenyum, "Tak ngantor?" 

Aku menggeleng, "Tak enak badan," bohongku.

"Emak tadi mau minta cangkul buru-buru karena mau gali jahe merah ini. Semalam Emak dengar kamu batuk tak berhenti jadi Emak mau buat wedang jahe biar bisa kamu minum sebelum berangkat kerja makanya tadi Emak buru-buru." Emak masih menggali tanah dengan pisau kecil. 

Aku bergeming. 

"Mak tak berani pakai pisau dapur kamu, kan pisau mahal nanti rusak kalau kena tanah makanya tadi cari cangkul." 

Ah bodoh, apa ini, dadaku kian sesak. 

"Untung ketemu pisau kecil ini, peninggalan Bapakmu dahulu, ini Emak sudah dapat banyak jahenya." Emak menunjukkan lima ruas jahe merah di telapak tangannya. Ia beranjak dan tersenyum. "Kamu istirahatlah, nanti wedang jahenya Emak antar ke kamarmu. " 

Ya Allah, ya Allah, berkali aku menyebut nama-Nya. Duhai hati alangkah mudah setan merasuki diri, betapa rapuh pertahanan diri, durahakalah aku yang telah melukai hati wanita baik ini. 

Aku segera berlari dan memeluk tubuh kurus Emak. "Maafkan aku, Mak, maafkan, Vina salah sudah membentak Emak. " 

Emak memegang pundakku dan tersenyum. "Tak apa." Emak kembali memelukku dan menepuk pundakku pekan. "Istirahatlah, kamu lelah," bisik Emak. 

Setiap orang tua akan sangat bahagia menghabiskan waktu merawat anaknya namun sebaliknya tak semua anak memiliki ketulusan dalam merawat orang tuanya walau hanya hitungan tahun. 

Tamat. 

._

@gW, 09072020

Posting Komentar

0 Komentar