Ibu dan Ketujuh Anaknya

Seorang pemuda terpelajar dari Surabaya sedang bepergian naik pesawat ke Jakarta. Di sampingnya duduk seorang ibu yang sudah berumur. Si pemuda menyapa, dan tak lama mereka terlarut dalam obrolan ringan.

”Ibu, ada acara apa pergi ke Jakarta?” tanya si pemuda.

“Oh…saya mau ke Jakarta terus “connecting flight” ke Singapura menengok anak saya yang kedua,” jawab ibu itu.

”Wouw…hebat sekali putra ibu,” pemuda itu menyahut dan terdiam sejenak.

Pemuda itu merenung. Dengan keberanian yang didasari rasa ingin tahu pemuda itu melanjutkan pertanyaannya.

”Kalau saya tidak salah, anak yang di Singapura tadi, putra yang kedua ya bu? Bagaimana dengan kakak dan adik-adiknya kalau saya boleh tahu?”

"Oh ya, tentu,” si Ibu bercerita: ”Anak saya yang ketiga seorang dokter di Malang, yang keempat kerja di perkebunan di Lampung, yang kelima menjadi arsitek di Jakarta, yang keenam menjadi kepala cabang bank di Purwokerto, yang ke tujuh menjadi dosen di Semarang.”

Pemuda tadi terdiam, hebat ibu ini, bisa mendidik anak-anaknya dengan sangat baik, dari anak kedua sampai ke tujuh.

”Terus bagaimana dengan anak pertama ibu?”

Sambil menghela napas panjang, ibu itu menjawab, ”Anak saya yang pertama menjadi petani di Godean Jogja, nak. Dia menggarap sawahnya sendiri yang tidak terlalu lebar.”

Pemuda itu segera menyahut, “Maaf ya Bu… Ibu pasti sedih dan agak kecewa ya dengan anak pertama ibu, adik-adiknya berpendidikan tinggi dan sukses di pekerjaannya, sedang dia hanya menjadi petani?”

Dengan tersenyum ibu itu menjawab, ”Ooo…tidak, tidak begitu nak… Justru saya sangat bangga dengan anak pertama saya, karena dialah yang membiayai sekolah semua adik-adiknya dari hasil dia bertani.”

Notes:
Semua orang di dunia ini penting. Buka mata, pikiran, dan hati, kita tidak bisa membuat ringkasan dari sebuah buku sebelum membacanya sampai selesai. Dan “Hal yang paling penting adalah bukanlah SIAPA KITA, tetapi APA YANG SUDAH KITA LAKUKAN”.
_____
(surat elektronik | anonim)

Posting Komentar

0 Komentar